Senin, 10 Desember 2012

Makalah Metodologi Penelitian (Pengetahuan Menurut Aristoteles)


PENDAHULUAN

 A.    Latar Belakang
             Dengan adanya zaman yang semakin berubah dan ilmu pengetahuan juga berkembang maka sudah saatnya kita coba menggali kedalam diri kita sendiri lalu berani untuk bertanya apa yang sudah kita berikan pada kehidupan ini dari ilmu pengetahuan yang sudah dipelajari. Apakah benar kita sudah belajar? Ataukah kita sebenarnya dibelajarkan? Proses perjalanan waktu dan usia pada diri manusia akan dapat menjawab pertanyaan tersebut. Tanpa kita sadari apapun yang kita peroleh dari kehidupan ini adalah pengalaman yang berarti jika disadari sepenuhnya. Tetapi kadang kita lupa bahwa apa yang kita peroleh itu kita anggap sebagai usaha sendiri, dalam arti tidak ada campur tangan sesuatu yang lain dari diri ini. pengetahuan adalah pelbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal. 
         Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya. Misalnya ketika seseorang mencicipi masakan yang baru dikenalnya, ia akan mendapatkan pengetahuan tentang bentuk, rasa, dan aroma masakan tersebut.
           Pengetahuan indera menurut Aristoteles memberikan kita pengetahuan tentang bentuk benda tanpa materinya. Maksudnya yang kita dapatkan dari inderawi dari apa yang tampak oleh mata, terdengar oleh telinga, teraba oleh kulit, dan terbaui oleh hidung.
Aristoteles mau yang konkret, karena itu ia juga percaya pada indera. Ia juga percaya pada akal budi, karena itu ia percaya sebab juga Tuhan. Pada hal keduanya tidak dapat diindera. Maka di dalam makalah ini akan membahas menganai pengetahuan menurut Aristoteles dan yang paling penting dalam pemikirannya lebih menekankan pemahaman empirisme, yang lebih berpaku  pada inderawi dan pengalaman.


B.     Rumusan Masalah
    1. Bagaimana riwayat seorang ilmuan dan filsuf (Aristoteles)?
    2. Apa pengertian pengetahuan secara umum?
    3. Apa yang lebih ditekankan tentang pengetahuan menurut Aristoteles?
    4. Bagaimana pengetahuan menurut Aristoteles?



PEMBAHASAN


 A.    Riwayat Hidup Aristoteles
            Aristoteles, murid dan juga teman serta guru Plato, adalah orang yang mendapatkan pendidikan yang baik sebelum menjadi filosof. Keluarganya merupakan orang-orang yang tertarik pada ilmu kedokteran. Sifat berfikir saintifik ini besar pengaruhnya pada Aristoteles.[1] Di sisi lain Aristoteles juga sangat menekankan empirisme[2] untuk menekankan pengetahuan.
           Aristoteles lahir pada tahun 384 SM di Stagira, sebuah kota di Trace. Ayahnya meninggal tatkala ia masih muda. Ia di ambil oleh Proxenus, dan orang ini memberikan pendidikan yang istimewa kepadanya. Tatkala Aristoteles berumur 18 tahun, ia di kirim ke Athena dan dimasukkan ke Akademia Plato. Di sanalah ia belajar tentu saja pada Plato. Dalam pergaulan tingkat atas, ia barangkalai lebih berhasil ketimbang Plato; ia pernah menjadi tutor (guru) Alexander, putra Philip dari Masedonia, seorang diplomat yang ulung dan jenderal yang terkenal. Sebagai tutor bagi Alexander, Aristoteles mempunyai pengaruh besar terhadap sejarah dunia.[3] Alexander tidak hanya menerima seluruh idea dan rencananya, lebih dari itu juga pola pikirnya.
           Selain itu Aristoteles adalah seorang ilmuan dan filsuf terbesar di dunia kuno. Ia merupakan seorang animis dan salah satu dari sekian idenya yang menarik adalah bahwa dunia sebagai suatu keseluruhan, kosmos, pada dasarnya hidup dan dan bersifat illahi.[4] Aristoteles bergerak diantara tiga klaim animis secara berbeda. Ketiga hal tersebut adalah :
  1. Segala sesuatu hidup (bahkan batuan, binatang, dan air)
  2. Segala yang hidup terkait hokum sebab akibat (kausalitas)
  3. Kosmos[5] sebagai keseluruhan adalah hidup.
B.     Arti Pengetahuan
         Pengetahuan (episteme yang berasal dari bahasa Yunani) yaitu keadaan tahu; pengetahuan adalah semua yang diketahui. Ini bukan definisi pengetahuan tetapi sekedar menunjukkan apa kira-kira pengetahuan. Manusia ingin tahu, lantas ia mencari dan memperoleh pengatahuan. Nah, yang siperolehnya itulah pengetahuan.[6] Di sisi lain episteme (pengetahuan) hanya dapat disebut sebagai pengetahuan sejauh ia dapat siterapkan (operable).[7]  
         Maka pengetahuan adalah pelbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal.[8] Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya. Misalnya ketika seseorang mencicipi masakan yang baru dikenalnya, ia akan mendapatkan pengetahuan tentang bentuk, rasa, dan aroma masakan tersebut.
      Dalam pengertian lain, pengetahuan (Knowledge) adalah hasil dari aktivitas mengetahui, yakni tersingkapnya suatu kenyataan ke dalam jiwa hingga tidak ada keraguan terhadapnya.[9] “ketidakraguan” merupakan syarat mutlak bagi jiwa untuk dikatakan “mengetahui”. Kita mengetahui bilangan tiga bahwa ia lebih besar dari dua dan kebih kecil dari lima  manakala kita yakin akan kenyataan itu, meskipun guru kita atau orang yang kita anggap pandai mengatakan sebaliknya, toh kita tetap pada pendirian kita. Jika pendapat yang berlawanan itu menyebabkan kita ragu, berarti kita tidak mengetahui bilangan tiga. Serupa itulah kriteria bagi suasana “mengetahui” bagi segala yang kita tangkap jiwa baik mengenai benda, seperti buku, kursi gelas dan lain sebagainya.   
       Pengetahuan adalah informasi yang telah dikombinasikan dengan pemahaman dan potensi untuk menindaki; yang lantas melekat di benak seseorang. Pada umumnya, pengetahuan memiliki kemampuan prediktif terhadap sesuatu sebagai hasil pengenalan atas suatu pola. Manakala informasi dan data sekedar berkemampuan untuk menginformasikan atau bahkan menimbulkan kebingungan, maka pengetahuan berkemampuan untuk mengarahkan tindakan. Ini lah yang disebut potensi untuk menindaki.
Di bawah ini akan kami paparkan tentang pengetahuan yang ada pada diri manusia sebagai berikut:

C.    Pengetahuan Menurut Aristoteles
          Manusia tidak seperti benda-benda, ia berada di tengah dunia dengan caranya yang khas. Yaitu bahwa manusia sadar akan benda-benda yang ada di sekitarnya. Kesadaran akan kehadiran yang lain ini melahirka pengetahuan.[11] Pengetahuan juga mungkin diperoleh berdasarkan pengumuman sekuler atau kekuasaan agama seperti negara atau tempat ibadah. Cara lain untuk mendapat pengetahuan dengan pengamatan dan eksperimen (metode ilmiah). Pengetahuan terdiri atas kepercayaan tentang kenyataan (reality). Salah satu cara untuk mendapat dan memeriksa pengetahuan adalah dari tradisi atau dari yang berwewenang di masa lalu yang umumnya dikenal, seperti Aristoteles.
            Pengetahuan menurut Aristoteles Pengetahuan adalah ” Hasil penyerapan akal manusia yang dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu :[12]
  1. Pengetahuan Teoritis (Pengetahuan yang diupayakan untuk kepentingan diri sendiri, seperti pengetahuan metafisika, fisika dan matematika).
  2. Pengetahuan Praktis (pengetahuan yang diaktualkan seperti pengetahuan etika dan politik)
  3. Pengetahuan Produktif (pengetahuan yang dikejar untuk membuat, menghasilkan dan menciptakan sesuatu)”,
         Ketiga-tiganya didasarkan pada proses persepsi induktif-intuitif yang menyingkap kaitan-kaitan diantara bentuk-bentuk partikular (yang khusus)  yang dialami seseorang.
          Pada pemikiran Plato lebih menekankan paham rasionalisme sebagai sumber pengetahuan.  Yang dimaksud dengan rasionalisme secara umum yaitu pendekatan filosofis yang menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi.[13] Kita juga menemukan hasrat Plato untuk meraih yang bersifat umum (universal) yang dapat dipikirkan oleh ide. Karena itu Plato menganggap bahwa pengetahuan yang diberikan oleh indera adalah doxa (pengetahuan yang menyesatkan), walaupun Plato juga menganggap data indera itu penting sebagai jalan menuju pengetahuan yang benar. Apa yang diserap oleh indera bagi Plato hanya berguna sejauh ia menghasilkan forma (bentuk) yang bisa mengingatkan kita pada pola di dunia idea. Jadi, dunia benda-benda yang dapat kita indera tidak diperhatikan oleh Plato.[14]
          Aristoteles, salah seorang murid Plato, membelokkan kecenderungan ini. Bagi dia, yang nyata itu bukan bersifat umum (universal), namun yang bersifat khusus partikular). Hidup bagaimanapun juga berada dan bercampur dengan yang khusus itu sperti (ayam nyata, bunga mawar nyata, dst), dan kita tak pernah menemukan yang umum (ayam ide, mawar ide, dan seterusnya.
Jadi yang ada adalah yang konkret seperti meja, bunga mawar, kupu-kupu dan kain sebagainya yang biasa dapat kita amati dengan indera. Di luar benda-benda konkret, tidak bisa disebut sebagai ada. Lebih jauh lagi, Aristoteles menegaskan bahwa pengertian umum terdapat di dalam benda konkret dan bersama-sama dengan benda konkret itu.
            Dalam proses mengetahui, manusia mencoba menggunakan apa yang dimilikinya: indera dan akal budi. Kita telah tahu bagaimana Heraclitos menegaskan bahwa inderalah cara pemahaman kita akan dunia, sedang sebaliknya Parmeneides yaitu akal budilah yang terbaik. Socrates dan Plato memberikan kita cara mencapai pengetahuan dengan penalaran akal budi.
            Aristoteles mau yang konkret, karena itu ia juga percaya pada indera. Ia juga percaya pada akal budi, karena itu ia percaya sebab juga Tuhan. Pada hal keduanya tidak dapat diindera.[15]
Pengetahuan indera menuut Aristoteles memberikan kita pengetahuan tentang bentuk benda tanpa materinya. Maksudnya yang kita dapatkan dari inderawi dari apa yang tampak oleh mata, terdengar oleh telinga, teraba oleh kulit, dan terbaui oleh hidung. Meterinya sendiri tidak pernah bisa kita masukkan kedalam diri kita. Melalui bentuk itulah kemudian akal indera mendapatkan bahan bagi kegiatan berpikirnya.
              Di dalam pengetahuan, Aristoteles lebih menekankan Empirisme, karena metode ilmu pengetahuan itu bukanlah bersifat a priori yang secara harfiah berarti berdasarkan atas hal-hal yang adanya mendahului. Dengan menggunakan metode a priori ini seakan-akan sudah mengetahui segala gejala secara pasti, meskipun kita belum mempunyai pengalaman inderawi mengenai hal-hal yang kemudian tampak sebagai gejala-gejala itu. Sesungguhnya metode ilmu pengetahuan bersifat a posteriori. Yang dimaksud dengan metode a posteriori ialah metode yang berdasarkan atas hal-hal yang datang atau terjadinya atau adanya kemudian.[16]
            Aposteriori dapat juga diartikan pengetahuan yang didapat setelah pengalaman karena bagi penganut empirisme sumber pengetahuan yang memadai itu ialah pengalaman, yang dimaksud dengan pengalaman di sini adalah pengalaman lahir yang menyangkut dunia dan pengalaman batin yang menyangkut pribadi manusia. Sedangkan akal manusia hanya berfungsi dan bertugas untuk mengatur dan mengolah bahan-bahan atau data yang diperoleh melalui pengalaman.
          Itulah pengetahuan menurut Aristoteles yang tidak  hanya menggunakan rasio tetapi juga menggunakan pengamatan atau inderawi. Sehingga manusia dapat mengetahui pengetahuan yang sesungguhnya melalui pengalaman yang di mulai dengan melihat.



PENUTUP

Kesimpulan:
  1. Aristoteles, murid dan juga teman serta guru Plato, adalah orang yang mendapatkan pendidikan yang baik sebelun menjadi filosof. Di sisi lain Aristoteles juga sangat menekankan empirisme untuk menekankan pengetahuan.
  2. Aristoteles adalah seorang ilmuan dan filsuf terbesar di dunia kuno. Ia merupakan seorang animis dan salah satu dari sekian idenya yang menarik adalah bahwa dunia sebagai suatu keseluruhan, kosmos, pada dasarnya hidup dan dan bersifat illahi.
  3. pengetahuan (Knowledge) adalah hasil dari aktivitas mengetahui, yakni tersingkapnya suatu kenyataan ke dalam jiwa hingga tidak ada keraguan terhadapnya.Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya. Misalnya ketika seseorang mencicipi masakan yang baru dikenalnya, ia akan mendapatkan pengetahuan tentang bentuk, rasa, dan aroma masakan tersebut.
  4. Pengetahuan menurut Aristoteles Pengetahuan adalah ” Hasil penyerapan akal manusia yang dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu :
    1. Pengetahuan Teoritis
    2. Pengetahuan Praktis
    3. Pengetahuan Produktif
    4. Aristoteles mau yang konkret, karena itu ia juga percaya pada indera. Ia juga percaya pada akal budi, karena itu ia percaya sebab juga Tuhan. Pada hal keduanya tidak dapat diindera.
    5. Pengetahuan indera menurut Aristoteles memberikan kita pengetahuan tentang bentuk benda tanpa materinya. Maksudnya yang kita dapatkan dari inderawi dari apa yang tampak oleh mata, terdengar oleh telinga, teraba oleh kulit, dan terbaui oleh hidung. Meterinya sendiri tidak pernah bisa kita masukkan kedalam diri kita.
    6. Di dalam pengetahuan, Aristoteles lebih menekankan Empirisme, karena metode ilmu pengetahuan itu bukanlah bersifat a priori yang secara harfiah berarti berdasarkan atas hal-hal yang adanya mendahului. Sesungguhnya metode ilmu pengetahuan bersifat a posteriori. Yang dimaksud dengan metode a posteriori ialah metode yang berdasarkan atas hal-hal yang datang atau terjadinya atau adanya kemudian.


DAFTAR PUSTAKA

Adib, Mohammad, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010)
Faruk, Ahmad, Filsafat Umum (Ponorogo: STAIN Po Press, 2009)
Mundiri, Logika (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996)
Q-Anees, Bambang dan Radea Juli A. Hambali, Filsafat Untuk Umum (Jakarta: Prenada Media, 2003)
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1990)
Watloly, Aholiab, Tanggung Jawab Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius (anggota IKAPI), 2001)



[1]  Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1990), hal. 56.

[2] Yang dimaksud dengan Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwasemua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia 

[3]  Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, hal. 60.

[4]  Mohammad Adib, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 28.

[5]  Pengertian yang paling umum dari kosmos, adalah suatu sistem yang teratur atau berada dalam harmoni. Berasal dari kata bahasa Yunani κόσμος yang berarti "keteraturan, susunan yang teratur, hiasan", 

[6] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Hal.16

[7] Aholiab Watloly, Tanggung Jawab Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius (anggota IKAPI), 2001), hal. 41.


[9] Mundiri, Logika (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 4.

[10] Yang dimaksud dengan Positivistis yaitu Suatu peristiwa yang benar-benar terjadi, yang dapat dialami sebagai suatu realita.

[11]  Bambang Q-Anees dan Radea Juli A. Hambali, Filsafat Untuk Umum (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 199.

[12]  Terdapat dalam kamus besar ilmu pengetahuan, save m. dagun, hal 817. Yang diambil darihttp://all-about-theory.blogspot.com/2010/03/pengetahuan.html

[13] Ahmad Faruk, Filsafat Umum (Ponorogo: STAIN Po Press, 2009), hal. 35.

[14] Bambang Q-Anees dan Radea Juli A. Hambali, hal. 191.

[15] Ibit., hal. 200.

[16] Rizal Mutansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal.78.

int �0: 0 �� � transform: none; white-space: normal; widows: 2; word-spacing: 0px; -webkit-text-size-adjust: auto; -webkit-text-stroke-width: 0px; background-color: rgb(255, 255, 255);">[15] Ibit., hal. 200.

[16] Rizal Mutansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal.78.


Asuransi Syari'ah (Asuransi Syari'ah Di Bidang Pemasaran)


PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pemasaran
1.      Secara umum
          Pemasaran berasal dari kata pasar,  yang dalam konteks tradisional diartikan dengan “tempat orang yang berjual beli”. Pemasaran adalah proses, cara, pembuatan, dan memasarkan suatu barang dagangan.[1] Dalam literatur Arab-Islam, pasar disebut assuq, jamaknya aswaq. Sedangkan pemasaran disebut dengan at-taswiq. Tentang konsep pasar dan pemasaran, pada dasarnya tidak ada perbedaan atau bahkan sama saja antara konsep pasar dalam sistem ekonomi Konvensional dengan konsep pasar dalam sistem ekonomi Syari’ah. Yang membedakan antara keduanya yaitu terutama terletak pada sistem akad dan barang-barang dagangkan yang diakadkan di samping asas-asas akad dan tujuan dari akad atau transaksi ekonomi itu sendiri.[2]    
Peter F. Drucker[3], yang sering disebut sebagai guru manajemen, mengatakan bahwa pemasaran bukanlah meruipakan perluasan dari penjualan. Pemasaran sama sekali bukan aktivitas yang khusus. Pemasaran merupakan keseluruhan bisnis. Pemasaran adalah keseluruhan bisnis yang dilihat dari sudut pandang hasil akhir yang dicapai, yaitu sudut pandang pelanggan. Ia juga mengemukakan bahwa pemasaran adalah fungsi yang berbeda dan merupakan fungsi yang unik dari suatu bisnis. Kemudian Dracker juga menyebutkan bahwa dalam setiap bisnis, “Only marketing and innovation generate revenue, the rest creates cost” (hanya pemasaran dan inovasi yang menghasilkan pendapatan, yang lain hanya menciptakan biaya).
Salah satu definisi pemasaran yang cukup “formal” di kalangan pakar pemasaran di Amerika, dari organisasi professional pemasaran, berbunyi,
“ managemen pemasaran adalah proses perencanaan dan pelaksanaan konsepsi[4], penetuan harga, promosi, pendistribusian barang, jasa, dan ide untuki menciptakan pertukaran dengan kelompok yang dituju, dimana proses ini dapat memuaskan pelanggan dan tujuan perusahaan.” (American Marketing Association: AMA, 1985).[5] 
2.      Secara syari’ah
       Pemasaran syari’ah adalah sebuah disiplin bisnis strategi yang mengerahkan proses penciptaan, penawaran, dan perubahan value dari satu inisiator kepada stakholders[6]-nya, yang dalam keseluruhan prosesnya sesuai dengan akad dan prinsip-prinsip muamalah dalam islam.[7] Kata kunci dalam definisi pemasaran syari’ah ini adalah bahwa dalam seluruh proses, baik proses penciptaan, proses penawaran maupun proses perubahan nilai (value), tidak boleh ada yang bertentangan dengan akad dan prinsip-prinsip muamalah dalam islam.
Di dalam islam juga sudah dijelaskan yang terkait dengan muamalah yang terdapat dalam kaidah fiqh yang paling basic yaitu “al-ashlu fil muaamalatil ibahah illah ayyadulla daliilun `alaa tahriimihaa” (pada dasarnya bentuk muamalah (business) boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya).[8]

B.     Dalil-Dalil Syar’i Pemasaran
Dari pengertian pemasaran syari’ah di atas dapat kita simpulkan bahwa pemasaran sama dengan perwakilan (simsar) atau wakalah dalam fiqh islam. Dengan demikian, secara syar’I dalil-dalil tentang pemasaran dengan seluruh lingkup atau elemen-elemen pemasaran yang ada di dalamnya dapat kita temukan dalam dalil-dalil syar’i tentang wakalah, simsar[9] atau perwakilan.

1.      Pengertian Wakalah (Perwakilan)
          Wakalah atau wikalah berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat. Contoh kaliamat, “aku serahkan urusanku kepada Allah SWT” mewakili pengertian tersebut. Wahbah az-Zuhaili, dalamal-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu al-Juz ‘ar-Rabi’, mengatakan bahwa wakil  dalam segi bahasamengandung dua makna yaitu: “penjagaan” atau “penyerahan kuasa”.
Namun yang dimaksud dengan wakalah dalam pembahasan bab ini adalah pelimpahan wewenang dari seorang kepada orang lain dengan mengurusi tentang pemasaran dalam suatu perusahaan yang meliputi sebagai berikut:[10]
1)      Strategi pemasaran (yaitu segmentasi, targeting, dan positioning)
2)      Taktik pemasaran (yaitu differensiation, marketing mix, dan selling)
3)      Peningkatan value (yaitu brand, service, dan process).

2.      Landasan hukum wakalah (perwakilan/pemasaran)
1.     1.   Al-Qur’an
          Yang menunjukkan adanya landasan wakalah dalam al-Qur’an yaitu “Demikianlah kami bangkitkan mereka agar saling bertanya diantara mereka sendiri. Berkata salah seorang diantara mereka, ‘sudah berapa lamakah kamu di sini?’ mereka menjawab, ‘kami sudah di sini satu atau setengah hari. Berkata (yang lain lagi), ‘Tuhan kamu lebih mengetahu8i berapa lamanya kamu berada di sini. Maka, suruhlah salah seorang kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah ia lihat manakah makanan yang lebih baik dan hendaklah ia membawa makanan itu untukmu. Hendaklah mereka berlaku lemah lembut, dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seseorang pun.’”[11]
2.      2.  Al-Hadits
         Banyak hadist yang dapat dijadikan landasan keabsahan wakalah. salah satu haditsnya yaitu (Yang artinya):
Rasulullah mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mewakilinya mengawini Maimunah binti al-Harits.”[12]
Nabi sendiri sebelum ditunjuk sebagai Rasul, berniaga ke negeri Syam (Syiria), dengan membawa barang dagangan Khadijah (shareholders), seorang janda kaya, bangsawan, dan rupawan. Rasulullah mewakili segenap kepentingan stakeholders dalam menjual dan memasarkan produk bawaannya.
3.   3.    Ijma’
           Dari sudut ijma’ para ulama’ pun bersepakat dengan ijma’ atas dibolehkannya wakalah (perwakilan). Mereka bahkan ada yang cenderung mensunnahkannya dengan alas an bahwa hal tersebut termasuk jenis ta’awun (tolong menolong) atas dasar kebaikan dan takwa. Dalam firman Allah SWT, sebagai berikut:
“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong menolong dalam (mengerjakan) dosa dan permusuhan.” [13]
4.     4.  Kaidah fiqh
    “pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

C.    Marketing Warfare (Perang Pemasaran)
            Pemasaran adalah perang, di dalam peperangan membutuhkan strategi. Perang yang kami maksudkan di sini adalah kaitannya dengan strategi dan taktik, bukan perang fisik, seperti yang disebut dalam salah satu ayat di atas, “Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka dari kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat.”[14] Inilah salah satu ajaran Islam dalam al-Qur’an, bahwa diperlukannya strategi dan taktik, baik dalam peperangan yang sesungguhnya maupun dalam “perang” pemasaran.
          Art of war (seni berperang) adalah buku tentang strategi militer yang ditulis oleh seorang ahli strategi militer China, Sun Tsu, pada 2.500 tahun yang lalu. Buku ini mengilhami Khoo Kheng Hor menulis bukuAppliying Sun Tzu’s Art of War in Marketing (Sun Tzu dalam pemasaran). Ia menulis bahwa Tsun Tzu berkata, “kenalilah musuh Anda, kenalilah diri Anda, kemenangan Anda pun tidak akan terancam. Kenalilah medannya, kenalilah cuacanya, lengkaplah kemenangan Anda.” Suatu perencanaan bisa membuahkan hasil maksimal bila kita mempunyai informasi yang tepat waktu, relevan, dan akurat.[15] Informasi yang dimaksud meliputi sebagai berikut :
1)      “Musuh” Anda, misalnya para pelanggan, pesaing, pemasok, dan distributor Anda. Dalam hal kebutuhan produk, informasi yang dibutuhkan meliputi sumber-sumber mereka dan cara mereka memposisikan diri.
2)      Diri Anda, yakni penempatan posisi Anda, pengembangan dan ketersediaan produk, serta aspek biaya.
3)      “Medan”,  yakni memahami tentang sifat-sifat pasar yang Anda masuki, antisipasi terhadap berbagai perubahan, dan beragam konsekuensi yang mungkin terjadi.
4)      Cuaca atau Iklim,  misalnya iklim ekonomi berupa krisis ekonomi yang tidak mendukung prospek pemasaran. Selain itu, iklim politik berupa ketidakstabilan di berbagai Negara karena terjadinya kudeta militer.

D.    Marketing Strategy (Strategi Pemasaran) 
             Strategi dalam pemasaran merupakan suatu cara untuk memenangkan “perang”. Strategi penting dan diperlukan dalam bisnis syari’ah, sepanjang strategi tersebut tidak menghalalkan segala cara, tidak melakukan cara-cara batil, tidak melakukan penipuan dan kebohongan, dan tidak menzalimi pihak lain. Strategi dan taktik berbeda tipis dengan “tipu daya”, dan tipu daya dilarang dalam islam karena tipu daya mengandung penipuan, kecurangan, dan kezaliman. Sementara hal tersebut dilarang oleh Allah. Karena itu, dalam strategi maupun taktik pemasaran, haruslah senantiasa terbebas dari tipu daya. Allah berfirman, yang artinya:
“orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.”[16]

Di bawah ini prinsip-prinsip pemasaran dalam perspektif marketing syariah sebgai berikut :
1.      Segmentation (Segmentasi) 
           Segmentasi disebut sebagai mapping strategy (Pemetaan pasar), karena di sini kita melakukan pemetaan pasar. Pemetaan ini merupakan proses yang kreatif, karena pasarnya sebenarnya sama, namun cara pandang kita terhadap pasar itulah yang membedakan kita dengan pesaing.[17]
          “we are not the first, but we are the best!” [18] kalimat indah dan menyentak ini dipakai oleh beberapa perusahaan sekaligus di Indonesia. Maksudnya, tentu ingin memasukkan di benak konsumen bahwa perusahaan tersebut adalah terbaik di bidangnya. Marlboro juga pernah beriklan di Indonesia dengan moto, “Nomor satu di Amerika, nomor satu di dunia”. Dengan kalimat ini, rokok putih berfilter ini ingin menyatakan bahwa interms of sales volume, Marlboro juara terbaik di Amerika dan di dunia. Jadi contoh positioning statement  yang pertama tadi menekankan quality, maka yang kedua lebih menekankan pada quantity
2.      Targeting (Target pasar)
            Dalam pemeliharaan target pasar yang tepat, suatu perusahaan harus menggunakan empat kriteria yaitu ukuran segemen, pertumbuhan segmen , keunggulan kompetitif perusahaan, situasi kompetitif perusahaan.
Berdasarkan kriteria-kriteria ini, perusahaan harus menyeleksi segmen pasar yang “cocok” dengan tujuan dan sumber dayanya, di mana perusahaan mamapu mencapai kinerja yang unggul. Pekerjaantargeting atau memilih target market adalah langkah berikutnya setelah melakukan segmentasi pasar. Pekerjaan ini sangat penting, karena kesalahan dalam segmentasi akan berpengaruh besar terhadap strategi dan taktik pada komnponan marketing lainnya. Dalam targeting, yang tidak kalah pentingnya adalah sejauh mana suatu perusahaan mampu mengukur kemampuan dan keunggulan kompetitif serta sumber daya yang dimiliki.
3.      Positioning (Penentuan posisi) 
            Positioning adalah pernyataan akan identitas suatu produk, jasa, perusahaan, lembaga, orang bahkan Negara yang bisa menghasilkan keunggulan di benak orang yang ingin dicapai.karena itu,  positioningharus membuat produk, jasa, perusahaan, lembaga, orang, atau Negara itu jadi dipersepsikan berbeda dengan pesaingnya. Perbedaan itu harus benar-benar bisa memisahkan diri dari yang lain. Yang lebih penting lagi yaitu perbedaan itu disukai, ditunggu, dan kalau bisa didambakan.
       Dalam menentukan posisi produk, suatu perusahaan harus memberikan perhatian terhadap empat pertimbangan berikut:
  1. Positioning harus cocok dengan kekeuatan perusahaan.
  2. Positioning harus jelas berbeda dengan positioning pesaing.
  3. Positioning harus diterima positif (disukai dan dapat dipercaya) oleh para konsumen
  4. Positioning harus sustainable (berkelanjutan) untuk beberapa waktu.
4.      Marketing tactic (Taktik pemasaran)
Untuk merealisasikan strategi dan value (nilai) disebut taktik, yang menunjukkan bagaimana suatu perusahaan mengeukuhkan dirinya di pasar, dimana peperangan yang sebenarnya terjadi dan peperangan di sini memerlukan strategi atau taktik yang rapi, benar, dan teratur.
Ajaran Islam memang mengajarkan agar dalam mengerjakan segala sesuatu harus dengan rapi, benar, taktis, dan teratur. Setiap pekerjaan apalagi yang berkaitan denga bisnis haruslah dengan itqan(tepat, terarah, jelas, dan taktis), tidak boleh asal-asalan.  Rasulullah bersabda, “sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang jika melakukan sesuatu pekerjaan, dilakukan secara itqan (tepat, terarah, teratur, dan taktis).” [19]
5.      Differentiation (Diferensiasi)
Secara tradisional, diferensiasi diartikan dengan perbedaan dalam apa yang ditawarkan perusahaan.[20] Di sini,  positioning  ada di kelompok strategi, karena merupakan cara memenangkan perang! Sedangkan, Differentiation diperlukan untuk mengkongkretkan positioning tersebut. Suatu strategi yang tidak dikonkretkan dalam taktik, akan merupakan sesuatu yang ada di awang-awang, tidak membumi!  Di dalam Differentiation tugas marketing bukan hanya terbatas pada “how to win the war”,tapi juga “how to win the battle”. Karena, war terdiri dari banyak battle“tactic is also about how to the things right”.
6.      Marketing mix (Bauran pemasaran)
 Bauran pemasaran yaitu seperangkat alat pemasaran yang digunakan perusahaan untuk terus-menerus mencapai tujuan pemasarannya di pasar sasaran.[21] Bauran pemasaran meliputi empat komponen yaitu produk, harga, distribusi, dan promosi (4P-Product, price, place, promotion). Salah satu yang mendapatkan sorotan dari sudut pandang syari’ah dalam marketing mix, khusunyapromosi, adalah bahwa betapa banyak promosi yang dilakukan saat ini melalui berbagai media promosi justru mengandung kebohongan dan penipuan. Dari sudut pandang syari’ah, faktor ini yang sangat dominan banyak yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’ah dalam praktiknya di market.



DAFTAR PUSTAKA

Drucker, Peter F., Management, Task, Responsibilities, Practices, Harper and Row, New York, 1973.
Sula, Muhammad Syakir, Asuransi Syari’ah (Jakarta: Gema Insani, 2004).
Suma, M. Amin, Asuransi Syari’ah dan Asuransi Syari’ah (Jakarta: Kholam Publising, 2006). 
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengem Bangan Bahasa Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Repoublik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989).



[1] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengem Bangan Bahasa Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Repoublik Indonesia, Kiamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 651.

[2] M. Amin Suma, Asuransi Syari’ah dan Asuransi Konvensional(Jakarta: Kholam Publising, 2006), hlm. 79.

[3] Peter F. Drucker, Management, Task, Responsibilities, Practices, Harper and Row, New York, 1973, hlm. 65.

[4] Yang dimaksud dengan konsepsi dalam kamus bahasa Inggris yaitu pendapat (paham); 2 rancangan (cita-cita dsb) yang telah ada di dalam pikiran. 

[5] Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syari’ah (Jakarta: Gema Insani, 2004), hlm. 419.

[6] Yang dimaksud dengan 'Stakeholder' adalah kelompok atau individu yang dukungannya diperlukan demi kesejahteraan dan kelangsungan hidup organisasi. 

[7] Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syari’ah, hlm. 425.

[8] Ibit.

[9] Simsar di sebut juga dengan makelar, sedangkan makelar yaitu perantara perdangan atau orang yang menjualkan dan yang mencarikan pembeli.

[10] Muhammad Syakir Sula, hlm. 428.

[11] QS. al-Kahfi: 19.

[12] HR Malik dalam “al-Muwaththa’.

[13] QS. al-Ma’idah: 2.

[14] QS. al-Anfal: 60.

[15] Muhammad Syakir Sula, hlm. 432.

[16] QS. Ali Imran: 54.


[18] Artinya kami bukan yang pertama, tetapi kami yang terbaik.

[19] HR Thabrani.

[20] M. Amin Suma,  Asuransi Syari’ah dan Asuransi Konvensional,  hlm. 85.

[21] Philip Kotler, Manajemen Pemasaran Global (Jakarta: PT. Prenhallindo, 2003), hlm. 9.