Sabtu, 23 Februari 2013

ARTIKEL PEGADAIAN



ARTIKEL

Benarkah Pegadaian Mengatasi Masalah Tanpa Masalah?


Beberapa pekan yang lalu saya berurusan untuk pertama kalinya dengan Pegadaian karena sangat butuh uang kontan mendesak, meskipun ini bukan sebenarnya yang pertama kali karena sebelumnya sudah 2 kali saya menerima pembayaran Adsense di Pegadaian, tapi itu kan lewat Western Union dan tidak berurusan langsung dengan Pengadaian-nya. Sebelumnya saya belum tahu sedikitpun tentang cara kerja Pegadaian ini, kecuali slogannya yang terkenal itu “Mengatasi masalah tanpa masalah“. Kesan yang timbul saat mendengar slogan ini cukup sederhana, kita butuh uang lalu menggadaikan barang terus barang itu ditebus setelah uang bisa dikembalikan (asumsi saya dengan jumlah yang sama seperti jumlah uang yang diambil).
Karena sangat mendesak, saya terpaksa menggadaikan netbook HP-Mini 3100 yang belum setengah tahun saya miliki dan masih bergaransi resmi. Penaksir di pegadaian hanya bisa memberi pinjaman Rp.700.000 padahal barang ini masih terhitung baru dan harganya lebih dari 3x lipat jumlah yang ditaksir. Tapi apa boleh buat, karena sangat butuh saya terima saja. Sebelas hari kemudian, saya menebus barang tersebut dan ternyata jumlah uang yang harus saya kembalikan bukan Rp.700.000 ribu lagi tetapi Rp.708.400, ada penambahan Rp.8.400. Dari sini saya benar-benar baru tahu kalau ternyata di pegadaian membebankan bunga juga kepada penggadai, kalau untuk kasus saya besarnya bunga 1,2%. Batas akhir penebusan adalah empat bulan terhitung sejak barang digadaikan.
Dari pengalaman pertama saya berurusan dengan Pegadaian ini, saya masih mempertanyakan apakah Pegadaian benar-benar dapat mengatasi masalah tanpa masalah karena:
·          Barang ditaksir terlalu rendah, sehingga jika tidak dapat ditebus dalam waktu 4 bulan berarti penggadai akan rugi sebab pinjaman yang diberikan sangat tidak sebanding nilai barang yang sebenarnya.
·          Membebankan bunga kepada penggadai yang bertambah setiap 15 hari. Ini sangat memberatkan karena kebanyakan penggadai mengambil pinjaman bukan untuk mendirikan usaha melainkan untuk sebuah kebutuhan mendesak.
Jadi bagi saya masalah sebenarnya hanya teratasi sementara, kemudian timbul masalah yang lebih besar lagi ketika barang yang tergadai akan ditebus. Dari pengalaman ini saya mendapatkan jawaban terhadap pertanyaan yang sering terlintas di pikiranku “Dari mana Pegadaian dapat untung untuk menggaji pegawai-pegawainya?”. Ternyata dari bunga (riba) itu dan dari keuntungan berlipat ganda barang yang dilelang jika tidak berhasil ditebus oleh penggadai. Kalau begini ceritanya, berurusan dengan Pegadaian ternyata sangat berbahaya, bukankah tidak hanya pemakan riba yang dilaknat tetapi juga pemberi riba dan semua yang terlibat di dalamnya?
Tanggapan???
Dari artikel diatas dapat ditanggapi bahwa memang benar Pegadaian mengenakan bunga dalam hitungan per 15 hari dengan alasan  sebagian besar modal kerja Pegadaian merupakan pinjaman dari pihak ketiga yang tentunya ada biaya bunganya karena penyertaan modal kerja dari pemerintah jumlahnya tidak signifikan dibanding kebutuhan modal kerja Pegadaian, dan untuk taksiran barang jaminan terutama untuk elektronik (termasuk laptop) tidak sebanding dengan harga pada saat belinya dikarenakan perkembangan elektronik sangatlah cepat sehingga jika muncul teknologi baru maka harga produk lama akan cepat sekali turun. Berbeda dengan menggadaikan emas, taksiran harga emas di pegadaian hampir mendekati harga pasaran karena harga emas cenderung menaik.
Kemudian untuk lelang barang jaminan yang tidak ditebus. Di sini lelang merupakan altenatif terakhir yang terpaksa dilakukan oleh pihak pegadaian. Sebelum eksekusi lelang dilakukan pihak pegadaian akan menghubungi nasabah yang bersangkutan untuk sekedar mengingatkan bahwa kreditnya telah jatuh tempo, baik melalui telepon, surat atau lewat via sms. Tetapi disisi lain Pegadaian juga berusaha menghindari terjadinya lelang, karena jika satu barang nasabah terlelang maka Pegadaian juga yang rugi, karena akan kehilangan nasabah. Jikalau terpaksa barang jaminan nasabah terlelang, nasabah masih berhak mendapatkan uang sisa penjualan lelang setelah dikurangi uang pinjaman dan biaya yang harus dibayar nasabah (Pajak lelang ini nilainya hanya 2% dari penjualan lelang dan wajib disetor ke pemerintah melalui kantor lelang negara).
SEKIAN DAN TERIMAKASIH

PEMIKIRAN IBNU QOYYIM TENTANG EKONOMI ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sejarah yang dikontruksi oleh Barat sulit untuk jujur menyatakan bahwa peradaban Islam memberikan kontribusi nyata dan sangat besar bagi tumbuh kembangnya peradaban Barat pasca jaman kegelapan. Fakta ini pun sangat jelas terlihat ketika kita membaca teori ekonomi yang telah disusun oleh ekonom muslim klasik seperti Imam Al-Ghazali, Ibn Taimiyyah, Ibn Khaldun dan yang lainnya. Ada benang merah pemikiran dan pengaruh pemikiran filsafat, termasuk ekonomi bagi para pemikir Barat modern.
Karena itu, naif jika ada intelektual Barat dan Muslim yang menilai bahwa ekonomi Islam tidak memiliki akar geneologis dan historis yang kuat. Karena ekonomi adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial budaya yang tercipta. Jika ada yang menilai tidak ada sistem dan pemikiran ekonomi di jaman Rasulullah Saw, Khulafaurrasyidin, dan era kedinastian Islam, sama dengan tidak mengakui adanya peradaban Islam. Peradaban suatu bangsa pasti di dalamnya ada kehidupan ekonomi, pemikiran dan kebijakan ekonomi yang berkembang.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana biografi Ibnu Al Qoyyim ?
2.      Apa pemikiran Ibnu Al Qoyyim mengenai ekonomi islam ?




BAB II
PEMBAHASAN


A.    Ibnu Al Qayyim (691-751 H/ 1292-1350 M)
Ibnu Al Qayyim memiliki nama asli Shams al-Din Abu 'Abdullah Muhammad Ibnu Abu Bakar, dikenal dengan nama besar Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, lahir di Damaskus, 7 Safar 691 H (29 Januari, 1292 M) dan meninggal pada 23 Rajab 751 H (26 September, 1350 M). Beliau lahir dari seorang ayah yang bekerja sebagai kepala sekolah pada Madrasah Al Jawziyyah.
Ibnu Al Qayyim banyak belajar dari ilmuwan-ilmuwan Islam terkenal seperti Shihab Al Abir, Taqiyyud-Din Sulaiman, Safiyyud-Din Al-Hindi, dan 16 tahun didedikasikan untuk belajar dari Ibnu Taimiyyah. Oleh karena itu, buah pemikiran beliau sedikit banyak sangat dipengaruhi oleh Ibnu Taimiyyah.
Satu hal penting lainnya yang perlu dipahami oleh pembaca adalah bahwa pada dasarnya Ibnu Al Qayyim bukanlah ilmuwan Islam yang fokus pada permasalahan ekonomi, melainkan lebih banyak kepada Tafsir Al Quran, Sunah, dan permasalahan sosial dan politik. Pandangan Ibnu Al Qayyim mengenai permasalahan ekonomi sendiri muncul atas dasar kebutuhan pada masanya. Ibnu Al Qayyim merupakan  murid Ibnu Taimiyyah. Kondisi sosial ekonomi dan politik yang meliputinya memang cukup kondusif dan stabil.[1]

B. Pemikiran Ibnu Al Qayyim dalam Ekonomi Islam
Secara umum pemikiran Ibnu Al Qayyim tentang permasalahan yang berkembang dalam ekonomi islam, kami paparkan dalam beberapa hal yaitu sebagai berikut :
1.      Prinsip Dasar Ekonomi Islam
Bagi Ibnu Al Qayyim, penting dipahami bahwa manusia adalah makhluk Allah. Rezeki yang dimiliki adalah titipan Allah dan sebagai ujian untuk manusia. Hidup ini tak lebih sebagai ujian dan cobaan. Kekayaan bukanlah tujuan, melainkan alat untuk mencapai tujuan yang bernama kebahagiaan.
Keadilan, menurutnya hanya dicapai dengan syariah yang akan membawa keberkahan dan kebijaksanaan.[2] Karena itu, Ibnu Al Qayyim menekankan nilai moral seperti kejujuran, transparan, berniat baik dalam kehidupan ekonomi. Kegiatan ekonomi, seperti berproduksi dan bekerja  sangat penting karena menyangkut upaya pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam konteks berproduksi dan prilaku ekonomi tersebut, pembagian kerja dan kerjasama sangat ditekankan. Dengan demikian, Ibnu Al Qayyim menawarkan konsep pembagian kerja.[3] Nampak, konsep tasawuf sangat kental dalam pemikiran Ibnu Al Qayyim tersebut.
Ibnu Al Qayyim lebih menonjolkan prinsip nilai dalam konsumsi, yang dalam hal ini ditekankan hanya untuk memenuhi kebutuhan saja agar mampu beribadah, bukan untuk pemenuhan keinginan, hedonisme dan materialisme.
Dalam konteks ini, Ibnu Al Qayyim memperkenalkan konsep zuhud. Menurutnya, zuhud bukan berarti menolak dunia, karena para nabi sebelumnya seperti nabi Sulaiman As saja kaya raya. Namun sikap yang tidak melihat harta sebagai berhala, melainkan sekedar alat untuk beribadah.
2.      Zakat
Selain memperkenalkan prinsip konsumsi dalam Islam dan nilai hidup zuhud, Ibnu Al Qayyim juga menjelaskan konsep zakat. Zakat memiliki dimensi ekonomi yang luas. Tujuannya untuk menciptakan kedamaian, kasih sayang dan kebaikan. Untuk itu, pengenaan zakat telah ditetapkan besarnya dan tidak berubah-ubah.[4]
Dalam konteks produksi dan zakat, Ibnu Al Qayyim meyakini bahwa semakin banyak buruh yang terlibat dalam proses produksi, maka akan kecil zakat yang disalurkan dan sebaliknya. Nampak bahwa Ibnu Al Qayyim lebih menekankan pentingnya zakat ke sektor produktif sehingga mampu menyerap sebanyak mungkin tenaga kerja.
Demikian halnya dengan pengenaan zakat, bagi sektor padat karya, zakatnya harus semakin kecil. Sementara harta temuan, zakatnya harus tinggi (20 %) karena tidak banyak pekerja yang bekerja.
Panen dikenakan zakat 10 % kalau tadah hujan, kalau menggunakan pengairan, 5 %. Menjadi 2,5 persen bagi sektor padat karya. Dengan demikian aspek keadilan, kemanusian, keekonomian dan solidaritas sosial menjadi penentu besaran zakat.[5] Kegiatan ekonomi, bagi Ibnu Al Qayyim ditujukan untuk kepentingan kehidupan masyarakat yang adil, pemenuhan kepentingan publik dan mencegah kemadharatan.[6]


3.      Riba
Ibnu Al Qayyim membagi riba menjadi 2, yakni riba Al Jali dan riba Al Khafi. Riba Al Jali terjadi jika pemberi pinjaman mengenakan tambahan biaya atau bunga atas pinjamannya. Praktek seperti ini merupakan hal yang lazim dilakukan pada masa jahiliyah. Riba Al Khafi merupakan riba yang samar yang selanjutnya dibagi menjadi 2 yaitu: 
a)      Riba al-fadl
(mengenakan jumlah tambahan ketika menukar barang yang sama) menurut Sayyid Sabiq sebagaimana yang dikutip oleh Masjfuk Zuhdi adalah jual beli emas/perak atau jual beli bahan makanan dengan bahan makanan yang sejenis dengan adanya tambahan. Kalau riba nasiah diharamkan berdasarkan Al-Quran secara jelas sedang riba fadhl secara jelas ditegaskan dalam hadits Nabi SAW seperti dibawah ini; menurut Ibnu Qoyyim riba ini termasuk riba samar, yang diharamkan karena sebab lainnya.[7]
b)      Riba al-nasiyah
(mengenakan jumlah tambahan ketika pembayaran tidak dilakukan pada saat yang sama dengan transaksi) riba yang sudah ma’ruf dikalangan jahiliyah. Yaitu, seseorang mengutangi uang dalam jumlah tertentu kepada seseorang dengan batas tertentu, misalnya dalam sebulan, sebagai imbalan limit waktu yang diberikan[8]. Masjfuk Zuhdi mengutip pengertian Sayyid Sabiq riba nasiah adalah tambahan yang disyaratkan yang diambil oleh orang yang mengutangi dari orang yang berutang, sebagai imbangan atas penundaan pembayaraan utang. Menurut Ibnu Qoyyim yang
dikutip oleh Abdurahman Isa riba ini adalah riba yang jelas. Diharamkan karena keadaannya sendiri.[9]
 Sebagaimana yang telah di jelaskan pada asbabun nuzul riba ini telah biasa dilakukan pada masa jahiliyah sampai sekarang. Dan Riba itulah yang kini sedang dipraktekan di bank-bank konvensional. Mereka mengambil keuntungan dengan prosentase tertentu dari pokok pinjaman[10] yang ada.. Merujuk kepada Sunah Rosulullah SAW, semua ini hanya berlaku pada 2 jenis kategori barang, yakni logam mulia dan bahan pangan.
Selanjutnya, Ibn Al Qayyim berpandangan bahwa menukar logam mulia dalam bentuk ornamen dengan logam mulia dalam bentuk uang dengan jumlah yang berbeda masih diperbolehkan mengingat ada biaya produksi dalam merubah logam mulia tersebut menjadi ornament, tetapi menukar logam mulia dalam bentuk koin dengan logam mulia dalam bentuk uang dengan jumlah yang berbeda tidak diperbolehkan. Satu kata kunci disini adalah bahwa uang yang selanjutnya dijadikan sebagai alat ukur nilai dari suatu barang haruslah bersifat stabil dan nilainya tidak ditentukan oleh hal-hal eksternal lain.
4.      Mekanisme Pasar dan Regulasi Pasar
Dalam hal ini, beliau mengikuti apa yang disampaikan sang guru, Ibnu Taimiyyah. Ibnu Al Qayyim menulis kitab Al-Turuq Al-Hukmiyyah. Menurutnya, harga adil adalah harga normal yang dilahirkan dari hukum permintaan dan penawaran, yang disebabkan oleh kekuatan pasar persaingan sempurna.
Untuk mendorong itu semua, diperlukan lembaga hisbah yang merupakan lembaga negara yang mengontrol, mengintervensi dan mensupervisi berbagai aktivitas ekonomi.             
5.      Pandangan Ekonomi Syariah Tentang Waktu[11]
Ibnu Al Qayyim merupakan salah satu ilmuwan Islam yang mendukung pemberlakuan harga yang lebih tinggi untuk kasus pembayaran yang ditangguhkan. Jika seseorang memberikan barang pada saat ini dan menerima pembayarannya pada masa yang akan datang maka diperbolehkan baginya untuk menerima tingkat harga yang lebih tinggi karena adanya opportunity cost yang muncul. Namun hal ini hanya berlaku untuk komoditi selain daripada logam mulia dan bahan pangan.    
        




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Ibnu Al Qayyim memiliki nama asli Shams al-Din Abu 'Abdullah Muhammad Ibnu Abu Bakar, dikenal dengan nama besar Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, lahir di Damaskus, 7 Safar 691 H (29 Januari, 1292 M) dan meninggal pada 23 Rajab 751 H (26 September, 1350 M).
2.      Prinsip Dasar Ekonomi Islam
Ibnu Al Qayyim menekankan nilai moral seperti kejujuran, transparan, berniat baik dalam kehidupan ekonomi.
3.      Zakat
Dalam konteks produksi dan zakat, Ibnu Al Qayyim meyakini bahwa semakin banyak buruh yang terlibat dalam proses produksi, maka akan kecil zakat yang disalurkan dan sebaliknya.
4.      Mekanisme Pasar dan Regulasi Pasar
Ibnu Al Qayyim menulis kitab Al-Turuq Al-Hukmiyyah. Menurutnya, harga adil adalah harga normal yang dilahirkan dari hukum permintaan dan penawaran, yang disebabkan oleh kekuatan pasar persaingan sempurna.
5.      Pandangan Ekonomi Syariah Tentang Waktu
Ibnu Al Qayyim merupakan salah satu ilmuwan Islam yang mendukung pemberlakuan harga yang lebih tinggi untuk kasus pembayaran yang ditangguhkan. Jika seseorang memberikan barang pada saat ini dan menerima pembayarannya pada masa yang akan datang maka diperbolehkan baginya untuk menerima tingkat harga yang lebih tinggi karena adanya opportunity cost yang muncul.



DAFTAR PUSTAKA

Irawan, Tony, Dosen IE-FEM IPB, Sumber : EkonomiIslami(.wordpress.com) from : http://zonaekis.com/pemikiran-ekonomi-ibnu-al-qayyim/
Masjfuk Zuhudi, Masail Fiqhiyah. Cet 10, PT gunung agung. Jakarta, 1970.
Muhammad Ali Ash-ashabuni, Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, terj. Cet ke-4, PT. Bina ilmu. Surabaya,  2003.
Oweiss, M Ibrahim. Economic Thought of Ibn al-Qayyim,  dalam Http//:www.islamic-world.net/economics.
Perwataatmadja;  Jejak Rekam Ekonomi Islam; Refleksi Peristiwa Ekonomi dan Pemikiran Para Ahli Sepanjang Sejarah Kekhalifahan, (Jakarta, Cicero Publishing, 2008.






















Penjelasan?
1.      opportunity cost  Biaya peluang atau biaya kesempatan adalah biaya yang dikeluarkan ketika memilih suatu kegiatan. Berbeda dengan biaya sehari-hari, biaya peluang muncul dari kegiatan alternatif yang tidak bisa kita lakukan. Sebagai contoh, misalkan seseorang memiliki uang Rp.10.000.000. Dengan uang sebesar itu, ia memiliki kesempatan untuk bertamasya ke Bali atau membeli sebuah TV. Jika ia memilih untuk membeli TV, ia akan kehilangan kesempatan untuk menikmati keindahan Bali; begitu pula sebaliknya, apabila ia memilih untuk bertamasya ke Bali, ia akan kehilangan kesempatan untuk menonton TV. "Kesempatan yang hilang" itulah yang disebut sebagai biaya peluang

2. Padat karya adalah:
1. Pekerjaan yg berasaskan pemanfaatan tenaga kerja yg tersedia (dalam jumlah yg besar);
2. Kegiatan pembangunan proyek yg lebih banyak menggunakan tenaga manusia jika dibandingkan dng modal atau mesin
Secara garis besar Riba yang diharamkan oleh Islam itu ada dua macam
a.. Riba Nasiah; riba yang sudah ma’ruf dikalangan jahiliyah. Yaitu, seseorang mengutangi uang dalam jumlah tertentu kepada seseorang dengan batas tertentu, misalnya dalam sebulan, sebagai imbalan limit waktu yang diberikan[19]. Masjfuk Zuhdi mengutip pengertian Sayyid Sabiq riba nasiah adalah tambahan yang disyaratkan yang diambil oleh orang yang mengutangi dari orang yang berutang, sebagai imbangan atas penundaan pembayaraan utang. Menurut Ibnu Qoyyim yang dikutip oleh Abdurahman Isa riba ini adalah riba yang jelas. Diharamkan karena keadaannya sendiri[20]
                  Sebagaimana yang telah di jelaskan pada asbabun nuzul riba ini telah biasa dilakukan pada masa jahiliyah sampai sekarang. Dan Riba itulah yang kini sedang dipraktekan di bank-bank konvensional. Mereka mengambil keuntungan dengan prosentase tertentu dari pokok pinjaman[21] yang ada.
b.  Riba fadhal; menurut Sayyid Sabiq sebagaimana yang dikutip oleh Masjfuk Zuhdi adalah jual beli emas/perak atau jual beli bahan makanan dengan bahan makanan yang sejenis dengan adanya tambahan. Kalau riba nasiah diharamkan berdasarkan Al-Quran secara jelas sedang riba fadhl secara jelas ditegaskan dalam hadits Nabi SAW seperti dibawah ini; menurut Ibnu Qoyyim riba ini termasuk riba samar, yang diharamkan karena sebab lainnya[22].