BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejarah
yang dikontruksi oleh Barat sulit untuk jujur menyatakan bahwa peradaban Islam
memberikan kontribusi nyata dan sangat besar bagi tumbuh kembangnya peradaban
Barat pasca jaman kegelapan. Fakta
ini pun sangat jelas terlihat ketika kita membaca teori ekonomi yang telah
disusun oleh ekonom muslim klasik seperti Imam Al-Ghazali, Ibn Taimiyyah, Ibn
Khaldun dan yang lainnya. Ada benang merah pemikiran dan pengaruh pemikiran
filsafat, termasuk ekonomi bagi para pemikir Barat modern.
Karena itu, naif jika ada
intelektual Barat dan Muslim yang menilai bahwa ekonomi Islam tidak memiliki
akar geneologis dan historis yang kuat. Karena ekonomi adalah bagian tak
terpisahkan dari kehidupan sosial budaya yang tercipta. Jika ada yang menilai
tidak ada sistem dan pemikiran ekonomi di jaman Rasulullah Saw,
Khulafaurrasyidin, dan era kedinastian Islam, sama dengan tidak mengakui adanya
peradaban Islam. Peradaban suatu bangsa pasti di dalamnya ada kehidupan
ekonomi, pemikiran dan kebijakan ekonomi yang berkembang.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Ibnu Al Qoyyim ?
2. Apa pemikiran Ibnu Al Qoyyim mengenai ekonomi islam ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ibnu Al
Qayyim (691-751 H/ 1292-1350 M)
Ibnu Al Qayyim memiliki nama asli Shams al-Din Abu 'Abdullah Muhammad Ibnu Abu Bakar,
dikenal dengan nama besar Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, lahir di Damaskus, 7 Safar 691 H (29
Januari, 1292 M) dan meninggal pada 23 Rajab 751 H (26 September, 1350 M). Beliau lahir dari seorang ayah yang bekerja
sebagai kepala sekolah pada Madrasah Al Jawziyyah.
Ibnu Al Qayyim banyak belajar dari
ilmuwan-ilmuwan Islam terkenal seperti Shihab Al Abir, Taqiyyud-Din Sulaiman, Safiyyud-Din Al-Hindi, dan 16 tahun didedikasikan untuk
belajar dari Ibnu Taimiyyah. Oleh karena itu, buah pemikiran beliau sedikit
banyak sangat dipengaruhi oleh Ibnu Taimiyyah.
Satu hal penting lainnya yang perlu
dipahami oleh pembaca adalah bahwa pada dasarnya Ibnu Al Qayyim bukanlah
ilmuwan Islam yang fokus pada permasalahan ekonomi, melainkan lebih banyak
kepada Tafsir Al Quran, Sunah, dan permasalahan sosial dan politik. Pandangan Ibnu Al Qayyim mengenai permasalahan
ekonomi sendiri muncul atas dasar kebutuhan pada masanya. Ibnu Al Qayyim merupakan murid Ibnu Taimiyyah.
Kondisi sosial ekonomi dan politik yang meliputinya memang cukup kondusif dan
stabil.
B.
Pemikiran Ibnu Al Qayyim dalam Ekonomi Islam
Secara
umum pemikiran Ibnu Al Qayyim tentang permasalahan yang berkembang dalam ekonomi islam, kami paparkan
dalam beberapa hal yaitu sebagai berikut :
1.
Prinsip Dasar Ekonomi
Islam
Bagi Ibnu Al Qayyim, penting
dipahami bahwa manusia adalah makhluk Allah. Rezeki yang dimiliki adalah
titipan Allah dan
sebagai ujian untuk manusia. Hidup ini tak lebih sebagai ujian dan cobaan.
Kekayaan bukanlah tujuan, melainkan alat untuk mencapai tujuan yang bernama
kebahagiaan.
Keadilan, menurutnya hanya dicapai
dengan syariah yang akan membawa keberkahan dan kebijaksanaan.
Karena itu, Ibnu Al Qayyim menekankan nilai
moral seperti kejujuran, transparan, berniat baik dalam kehidupan ekonomi.
Kegiatan ekonomi, seperti berproduksi dan bekerja sangat penting karena menyangkut upaya
pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam konteks berproduksi dan prilaku ekonomi
tersebut, pembagian kerja dan kerjasama sangat ditekankan. Dengan demikian,
Ibnu Al Qayyim menawarkan
konsep pembagian kerja.
Nampak, konsep tasawuf sangat kental dalam pemikiran Ibnu Al Qayyim tersebut.
Ibnu Al Qayyim lebih menonjolkan prinsip nilai
dalam konsumsi, yang dalam hal ini ditekankan hanya untuk memenuhi kebutuhan
saja agar mampu beribadah, bukan untuk pemenuhan keinginan, hedonisme dan
materialisme.
Dalam konteks ini, Ibnu Al Qayyim memperkenalkan
konsep zuhud. Menurutnya, zuhud bukan berarti menolak dunia, karena para nabi
sebelumnya seperti nabi Sulaiman As saja kaya raya. Namun sikap yang tidak
melihat harta sebagai berhala, melainkan sekedar alat untuk beribadah.
2. Zakat
Selain memperkenalkan prinsip
konsumsi dalam Islam dan nilai hidup zuhud, Ibnu Al Qayyim juga menjelaskan konsep zakat.
Zakat memiliki dimensi ekonomi yang luas. Tujuannya untuk menciptakan
kedamaian, kasih sayang dan kebaikan. Untuk itu, pengenaan zakat telah
ditetapkan besarnya dan tidak berubah-ubah.
Dalam konteks produksi dan zakat,
Ibnu Al Qayyim meyakini bahwa
semakin banyak buruh yang terlibat dalam proses produksi, maka akan kecil zakat
yang disalurkan dan sebaliknya. Nampak bahwa Ibnu Al Qayyim lebih menekankan pentingnya
zakat ke sektor produktif sehingga mampu menyerap sebanyak mungkin tenaga
kerja.
Demikian halnya dengan pengenaan
zakat, bagi sektor padat karya, zakatnya harus semakin kecil. Sementara harta
temuan, zakatnya harus tinggi (20 %) karena tidak banyak pekerja yang bekerja.
Panen dikenakan zakat 10 % kalau
tadah hujan, kalau menggunakan pengairan, 5 %. Menjadi 2,5 persen bagi sektor
padat karya. Dengan demikian aspek keadilan, kemanusian, keekonomian dan
solidaritas sosial menjadi penentu besaran zakat.
Kegiatan ekonomi, bagi Ibnu Al
Qayyim ditujukan untuk kepentingan kehidupan masyarakat yang adil, pemenuhan
kepentingan publik dan mencegah
kemadharatan.
3. Riba
Ibnu Al Qayyim membagi riba menjadi 2,
yakni riba Al Jali dan riba Al Khafi. Riba
Al Jali terjadi jika pemberi pinjaman mengenakan tambahan biaya atau bunga atas
pinjamannya. Praktek seperti ini merupakan hal yang lazim dilakukan pada masa
jahiliyah. Riba Al Khafi merupakan riba yang samar yang selanjutnya dibagi
menjadi 2
yaitu:
a)
Riba al-fadl
(mengenakan jumlah tambahan ketika
menukar barang yang sama) menurut Sayyid Sabiq sebagaimana yang dikutip oleh
Masjfuk Zuhdi adalah jual beli emas/perak atau jual beli bahan makanan dengan
bahan makanan yang sejenis dengan adanya tambahan. Kalau riba nasiah diharamkan
berdasarkan Al-Quran secara jelas sedang riba fadhl secara jelas ditegaskan
dalam hadits Nabi SAW seperti dibawah ini; menurut Ibnu Qoyyim riba ini
termasuk riba samar, yang diharamkan karena sebab lainnya.
b)
Riba al-nasiyah
(mengenakan jumlah tambahan ketika
pembayaran tidak dilakukan pada saat yang sama dengan transaksi) riba yang
sudah ma’ruf dikalangan jahiliyah. Yaitu, seseorang mengutangi uang dalam
jumlah tertentu kepada seseorang dengan batas tertentu, misalnya dalam sebulan,
sebagai imbalan limit waktu yang diberikan.
Masjfuk Zuhdi mengutip pengertian Sayyid Sabiq riba nasiah adalah tambahan yang
disyaratkan yang diambil oleh orang yang mengutangi dari orang yang berutang,
sebagai imbangan atas penundaan pembayaraan utang. Menurut Ibnu Qoyyim yang
dikutip oleh
Abdurahman Isa riba ini adalah riba yang jelas. Diharamkan karena keadaannya
sendiri.
Sebagaimana yang telah di jelaskan pada asbabun nuzul riba ini
telah biasa dilakukan pada masa jahiliyah sampai sekarang. Dan Riba itulah yang
kini sedang dipraktekan di bank-bank konvensional. Mereka mengambil keuntungan
dengan prosentase tertentu dari pokok pinjaman
yang ada..
Merujuk kepada Sunah Rosulullah SAW, semua ini hanya berlaku pada 2 jenis
kategori barang, yakni logam mulia dan bahan pangan.
Selanjutnya, Ibn Al Qayyim
berpandangan bahwa menukar logam mulia dalam bentuk ornamen dengan logam mulia
dalam bentuk uang dengan jumlah yang berbeda masih diperbolehkan mengingat ada
biaya produksi dalam merubah logam mulia tersebut menjadi ornament, tetapi
menukar logam mulia dalam bentuk koin dengan logam mulia dalam bentuk uang
dengan jumlah yang berbeda tidak diperbolehkan. Satu kata kunci disini adalah
bahwa uang yang selanjutnya dijadikan sebagai alat ukur nilai dari suatu barang
haruslah bersifat stabil dan nilainya tidak ditentukan oleh hal-hal eksternal
lain.
4. Mekanisme
Pasar dan Regulasi Pasar
Dalam hal ini, beliau mengikuti apa
yang disampaikan sang guru, Ibnu Taimiyyah. Ibnu Al Qayyim menulis kitab Al-Turuq Al-Hukmiyyah. Menurutnya, harga
adil adalah harga normal yang dilahirkan dari hukum permintaan dan penawaran,
yang disebabkan oleh kekuatan pasar persaingan sempurna.
Untuk mendorong itu semua,
diperlukan lembaga hisbah yang merupakan lembaga negara yang mengontrol,
mengintervensi dan mensupervisi berbagai aktivitas ekonomi.
5.
Pandangan Ekonomi Syariah Tentang
Waktu
Ibnu Al Qayyim merupakan salah satu
ilmuwan Islam yang mendukung pemberlakuan harga yang lebih tinggi untuk kasus
pembayaran yang ditangguhkan. Jika seseorang memberikan barang pada saat ini
dan menerima pembayarannya pada masa yang akan datang maka diperbolehkan
baginya untuk menerima tingkat harga yang lebih tinggi karena adanya
opportunity cost yang muncul. Namun hal ini hanya berlaku untuk komoditi selain
daripada logam mulia dan bahan pangan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Ibnu
Al Qayyim memiliki nama asli Shams al-Din
Abu 'Abdullah Muhammad Ibnu Abu Bakar, dikenal dengan nama besar Ibnu Qayyim
al-Jawziyyah, lahir di Damaskus, 7 Safar 691 H (29
Januari, 1292 M) dan meninggal pada 23 Rajab 751 H (26 September, 1350 M).
2.
Prinsip Dasar Ekonomi Islam
Ibnu Al Qayyim menekankan nilai
moral seperti kejujuran, transparan, berniat baik dalam kehidupan ekonomi.
3.
Zakat
Dalam konteks produksi
dan zakat, Ibnu Al
Qayyim meyakini bahwa semakin banyak buruh yang terlibat dalam proses produksi,
maka akan kecil zakat yang disalurkan dan sebaliknya.
4.
Mekanisme Pasar dan Regulasi Pasar
Ibnu Al Qayyim menulis kitab Al-Turuq Al-Hukmiyyah. Menurutnya, harga
adil adalah harga normal yang dilahirkan dari hukum permintaan dan penawaran,
yang disebabkan oleh kekuatan pasar persaingan sempurna.
5. Pandangan Ekonomi Syariah Tentang
Waktu
Ibnu Al Qayyim merupakan salah satu
ilmuwan Islam yang mendukung pemberlakuan harga yang lebih tinggi untuk kasus
pembayaran yang ditangguhkan. Jika seseorang memberikan barang pada saat ini
dan menerima pembayarannya pada masa yang akan datang maka diperbolehkan
baginya untuk menerima tingkat harga yang lebih tinggi karena adanya opportunity cost yang muncul.
DAFTAR PUSTAKA
Masjfuk Zuhudi, Masail Fiqhiyah.
Cet 10, PT gunung agung. Jakarta, 1970.
Muhammad
Ali Ash-ashabuni, Tafsir Ayat Ahkam Ash Shabuni, terj. Cet ke-4, PT.
Bina ilmu. Surabaya, 2003.
Oweiss, M Ibrahim. Economic
Thought of Ibn al-Qayyim, dalam
Http//:www.islamic-world.net/economics.
Perwataatmadja; Jejak Rekam Ekonomi Islam; Refleksi
Peristiwa Ekonomi dan Pemikiran Para Ahli Sepanjang Sejarah Kekhalifahan,
(Jakarta, Cicero Publishing, 2008.
Penjelasan?
1.
opportunity
cost Biaya
peluang atau biaya
kesempatan adalah biaya yang dikeluarkan ketika memilih suatu kegiatan.
Berbeda dengan biaya sehari-hari, biaya
peluang muncul dari kegiatan alternatif yang tidak bisa kita lakukan. Sebagai
contoh, misalkan seseorang memiliki uang Rp.10.000.000. Dengan uang sebesar
itu, ia memiliki kesempatan untuk bertamasya ke Bali atau membeli sebuah TV.
Jika ia memilih untuk membeli TV, ia akan kehilangan kesempatan untuk menikmati
keindahan Bali; begitu pula sebaliknya, apabila ia memilih untuk bertamasya ke
Bali, ia akan kehilangan kesempatan untuk menonton TV. "Kesempatan yang
hilang" itulah yang disebut sebagai biaya peluang
2. Padat
karya adalah:
1. Pekerjaan yg berasaskan pemanfaatan tenaga kerja yg tersedia (dalam
jumlah yg besar);
2. Kegiatan pembangunan proyek yg lebih banyak menggunakan tenaga
manusia jika dibandingkan dng modal atau mesin
Secara garis besar Riba yang diharamkan oleh Islam itu
ada dua macam
a.. Riba Nasiah; riba yang sudah ma’ruf dikalangan
jahiliyah. Yaitu, seseorang mengutangi uang dalam jumlah tertentu kepada
seseorang dengan batas tertentu, misalnya dalam sebulan, sebagai imbalan limit
waktu yang diberikan[19]. Masjfuk Zuhdi mengutip pengertian
Sayyid Sabiq riba nasiah adalah tambahan yang disyaratkan yang diambil oleh
orang yang mengutangi dari orang yang berutang, sebagai imbangan atas penundaan
pembayaraan utang. Menurut Ibnu Qoyyim yang dikutip oleh Abdurahman Isa riba
ini adalah riba yang jelas. Diharamkan karena keadaannya sendiri[20]
Sebagaimana yang telah di jelaskan pada asbabun nuzul riba ini telah biasa
dilakukan pada masa jahiliyah sampai sekarang. Dan Riba itulah yang kini sedang
dipraktekan di bank-bank konvensional. Mereka mengambil keuntungan dengan prosentase
tertentu dari pokok pinjaman[21] yang ada.
b. Riba fadhal; menurut Sayyid Sabiq sebagaimana
yang dikutip oleh Masjfuk Zuhdi adalah jual beli emas/perak atau jual beli
bahan makanan dengan bahan makanan yang sejenis dengan adanya tambahan. Kalau
riba nasiah diharamkan berdasarkan Al-Quran secara jelas sedang riba fadhl
secara jelas ditegaskan dalam hadits Nabi SAW seperti dibawah ini; menurut Ibnu
Qoyyim riba ini termasuk riba samar, yang diharamkan karena sebab lainnya[22].